Bentuk Transformasi Ikea di era digital

Pandemi telah menyebabkan retailer furnitur raksasa IKEA asal Swedia ini untuk menutup 75 persen gerai-gerai offline mereka di seluruh dunia dan mempercepat diri untuk berkembang dengan ecommerce online. Dalam waktu tiga tahun terakhir, omzet IKEA dari ecommerce sendiri telah menjadi tiga kali lipatnya.

Keuntungan bersih IKEA global pada tahun 2020 lalu mencapai USD 1,9 miliar. Sedangkan revenue pada tahun yang sama mencapai Euro 39,6 miliar. Angka ini sebenarnya turun dari angka omzet 2019 yaitu Euro 41,3 miliar.

CDO (Chief Digital Officer) Ikea Retail Barbara Martin Coppola yang berpengalaman 20 tahun total sebagai eksekutif di Google, Samsung, dan Texas Instruments, telah siap dalam mengatasi tantangan ini. Antara lain dengan strategi digital jitu serta memberikan kontrol kepada konsumen tentang bagaimana data mereka digunakan dalam ecommerce. Data analitiks sendiri kini telah menjadi unsur penting dalam pengambilan keputusan.

Berikut adalah beberapa bentuk transformasi IKEA di era digital selama dan pasca pandemi Covid-19.

Satu, gerai-gerai offline IKEA telah mengalami transformasi sebagai pusat pemenuhan dan pengiriman barang pesanan online. Toko-toko berfisik tersebut tidak lagi semata-mata sekedar lokasi shopping dan gudang produk. Ini berarti stok produk pesanan online dipasok dari gudang utama ke toko-toko tertentu atau di pusat-pusat pendistribusian untuk meringankan biaya dan mempercepat pengiriman ke konsumen.

Dua, baik penjualan secara ecommerce maupun konvensional, sama-sama digerakkan dari gerai-gerai offline. Kesadaran akan kecepatan pemenuhan yang berbeda antara keduanya minimal punya peran penting dalam meningkatkan kualitas servis dan pemuasan konsumen. Algoritma digunakan untuk menunjukkan arah ke masa depan penjualan, pengambilan keputusan, dan pendistribusian produk.

Tiga, pengalaman berbelanja setiap konsumen tidak lagi dikategorikan sebagai “belanja konvensional” dan “belanja online.” Batas keduanya semakin kabur, setiap konsumen bisa saja memulai buyer’s journey dari situs web lokal namun pada akhirnya memesan langsung ke gerai offline atau sebaliknya. Tidak jarang konsumen menyentuh dulu bendanya untuk meyakinkan, barulah memesannya secara online setelah melakukan berbagai komparasi harga dan fitur.

Empat, penggunaan aplikasi HP bernama IKEA app yang tersedia di beberapa negara tertentu. Fitur “shop and go” ini memberikan kesempatan scan, bayar, dan skip antrian checkout yang bisa saja memakan waktu berjam-jam. Pengisian informasi pengiriman dapat dilakukan saat itu atau dengan pengambilan produk di gerai-gerai offline setempat.

Lima, mengekspresikan nilai-nilai konvensional secara transformatif dalam lingkungan digital yang erat hubungannya dengan customer service. IKEA sebagai perusahaan tua dengan sepak terjang selama 80 tahun, pastilah mempunyai nilai-nilai kerja dan bisnis yang teruji. Kultur perusahaan dan jembatan dengan konsumen telah menunjukkan potensi dan aktualitas kualitas hidup konsumen yang lebih baik.

Enam, penggunaan AR (augmented reality) dan VR (virtual reality) dengan kaca mata khusus tiga dimensi merupakan teknologi yang sangat bisa meningkatkan revenue. Bayangkan saja, sebelum konsumen membeli suatu perabot, bisa saja mereka telah membayangkan pengalipkasiannya di kamar Anda dengan menggunakan AR atau VR, sehingga ketika membeli, telah dapat dipastikan produk sesuai dengan gaya interior design yang dituju. Jadi, batas antara online, offline, dan virtual semakin tipis dan semakin tumpang tindih.

Tujuh, manajemen inventori, logistik, pemenuhan order, dan supply chain dibekali dengan data konsumen terbaru. Jadilah gerai-gerai offline sebagai pusat data yang sangat penting. Penambangan data (data mining) dan pengolahan data (data cleaning) dimungkinkan dengan algoritma yang tepat. Gerai-gerai offline tersebut kini merupakan hub modernisasi data yang membangun fondasi gaya kerja dan gaya operasi baru.

Delapan, teknologi human-centric. Setiap aktivitas digital berbasis software atau aplikasi serta aktivitas offline perlu sama-sama berfokus kepada perilaku etis, menghormati perbedaan dan memperlakukan orang lain secara adil tanpa menghakimi.

Bagaimana ini semua diaplikasikan dalam dunia digital berbasis teknologi? Tentu membutuhkan penguasaan bahasa manusia dalam bentuk user interface (UI) yang memberi rasa nyaman dan intuitif serta aman dari berbagai hoaks dan serangan siber alias pleasant user experience (UX).

Selamat berkarya dengan studi kasus Ikea ini. Salam hangat selalu.