Kesuksesan Chick Fil A ( CFA )

Jika Anda pernah mengunjungi Negara Paman Biden, kemungkinan besar Anda pernah mencicipi sajian Chick-Fil-A (CFA) yang jadi favorit lokal. Resto ini selain tenar akan kelezatan ayam goreng dan chicken sandwich-nya, juga kontroversial karena donasi karitasnya kepada organisasi-organisasi anti LGBTQ.

Hebatnya, di tengah-tengah pro dan kontra hebat ini, di tahun 2019, total revenue CFA mencapai USD 10,46 miliar. Ini menjadikannya peringkat ketiga untuk restoran cepat saji di bawah McDonald’s USD 38,52 miliar dan Starbucks USD 20,5 miliar.

CFA mencapai omzet USD 1 miliar pada tahun 2000 yang membuatnya berada di posisi ke-3 dalam kategori fast food ayam goreng. Dua yang diatas adalah KFC dan Popeye’s.

Selain pencapaian di atas, setiap outlet CFA menghasilkan omzet paling besar dibandingkan dengan outlet-outlet fast food restaurant lainnya di seluruh AS. Karena melejit secepat roket, ini menyebabkan McDonald’s dan Popeye’s jadi memperhatikan setiap langkah CFA.

Pada pertengahan 2019, McD bahkan menambahkan sandwich ayam ala Southern AS untuk menandingi CFA. Dan Popeye’s mulai menyajikan menu serupa di waktu yang hampir bersamaan.

Mereka yang menganut paham liberal dan pro LGBTQ cukup banyak yang menahan diri untuk berhenti menikmati ayam sajian CFA sebagai bentuk protes. Yang menarik, ternyata pandangan tersebut yang awalnya dianggap sebagai “blunder” bagi public relations CFA, ternyata tidak berbuah negatif. Bagaimana bisa?

Satu, CFA mempertahankan kultur korporasi yang “saleh.”

Didirikan di Atlanta, Georgia pada tahun 1946, oleh seorang Kristen taat Truett Cathy, CFA mulanya bernama Dwarf Grill. Menu sandwich ayam yang digoreng dalam minyak kacang tanah sebenarnya merupakan resep keluarga favorit ibunda.

Semua outlet CFA tutup setiap hari Minggu, termasuk yang berlokasi di stadium-stadium olahraga yang penuh sesak di musim pertandingan. Alasannya klasik dan “saleh,” yaitu agar setiap pegawai dapat beribadat ke gereja dan beristirahat penuh di hari Minggu.

Dua, bernilai kekeluargaan yang tinggi.

Nilai kekeluargaan CFA didukung oleh kultur Southener yang dikenal sangat menjunjung tinggi rasa hormat kepada sesama, kesetiaan (termasuk kepada tempat kerja), dan keramah-tamahan “anak saleh.” Bisa dipahami ini menyebabkan baik konsumen maupun pegawai jadi merasa dihargai dan dihormati. Suasana “setiap konsumen adalah sahabat” terasa begitu menginjakkan kaki ke dalam outlet.

Tiga, visi resto di dalam mall dan independen.

Pada tahun 1967, CFA resmi dibuka di Greenbiar Mall, Atlanta. Di masa itu, resto fast food di dalam mall masih bisa dihitung dengan jari.

Pada tahun 1993, telah ada 500 restoran independen (bukan dalam mall) yang telah beroperasi di negara-negara bagian selatan AS. Saat ini, CFA mengoperasikan 2.605 restoran yang berlokasi di 47 negara bagia AS dan Kanada.

Empat, strategi iklan billboard.

Di sisi jalan-jalan tol, CFA memasang billboard dengan tulisan-tulisan berejaan salah untuk menarik perhatian, seperti Eat Mor Chikin’ dan Chikin 4 Brekfist. Kreativitas dalam menarik perhatian tanpa banyak berbicara ini ternyata berbuah manis.

Lima, keputusan tidak akan go public.

Ya, ketika perusahaan-perusahaan berbondong-bondong berusaha IPO, CFA malah berjanji tidak akan go public. Ini ditandatangani pada tahun 2000 di antara para pendiri dan pemegang saham. Tujuannya agar nilai-nilai para pendiri dapat terus berjalan sebagaimana diharapkan.

Enam, setiap gerai franchise hanya bisa dimiliki oleh satu orang franchisee.

Berbeda dengan bisnis-bisnis franchise lainnya di mana satu orang franchisee dapat memegang beberapa gerai, CFA hanya mengizinkan satu gerai untuk satu franchisee. Tujuannya agar setiap gerai dapat dikelola secara optimal oleh franchisee bersangkutan.

Tujuh, nilai-nilai kekeluargaan dan franchisee tunggal meningkatkan kesetiaan para pegawai.

Bisa dipahami mengapa para pegawai betah dan setia bekerja di setiap gerai CFA. Dua pertiganya bekerja sejak usia relatif muda sebagai part-timer hingga lulus kuliah dan bekerja full-time hingga posisi manajerial.

Faktor kesetiaan franchisee, para pegawai, dan konsumen menjadi fondasi kuat bagi eksistensi CFA, termasuk ketika diterjang blunder PR akibat kegiatan karitas anti-LGBTQ. Tampaknya, selain kualitas masakan yang istimewa, kultur dan nilai-nilai konservatif kekeluargaan berperan besar dalam sukses CFA.

Kapan Indonesia dapat menikmati CFA? Ketika visi mereka berubah suatu hari nanti